Menjelang pilkada serentak yang semakin dekat, dunia politik Indonesia dikejutkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memicu kekhawatiran di kalangan partai-partai Koalisi Indonesia Maju (KIM) plus. Keputusan tersebut berpotensi merusak skenario yang telah mereka rancang dengan matang, khususnya dalam strategi pemenangan calon.
Pengumuman Putusan MK menjelang akhir masa pendaftaran pilkada memicu peningkatan dramatis di seluruh jajaran politik. Langkah-langkah strategi yang sebelumnya diambil oleh berbagai pihak untuk memastikan dominasi mereka terancam menjadi sia-sia. Salah satu perubahan signifikan dalam keputusan tersebut adalah penyesuaian ambang batas syarat pengusung calon. Akibatnya, PDI-P yang sebelumnya tidak dapat mengusung calon secara mandiri kini memiliki kesempatan untuk melakukannya tanpa perlu berkoalisi dengan partai lain. Selain itu, partai non-parlemen kini juga berpotensi mengajukan calon.
Perubahan ini sangat berpengaruh, terutama di daerah-daerah seperti Jakarta, di mana kandidat yang berpotensi menyaingi jagoan KIM plus telah memicu kepanikan. Sementara itu, pasal terkait batas usia calon bisa berimplikasi pada pencalonan Kaesang yang menjadi perhatian publik.
Keputusan MK dianggap sebagai langkah tegas dalam mengawal konstitusi, terutama setelah perseteruan yang melibatkan hakim-hakim MK dan putusan PTUN yang menganulir hakim Suhartoyo sebagai ketua MK. Ini dinilai sebagai pemicu penting dalam mengembalikan keadaan keputusan terbaru MK.
KIM plus, meski telah membahas potensi gugatan di MK menjelang pilkada dan pergantian presiden, tidak menyangka bahwa keputusan yang keluar justru berpotensi membuat mereka kalang kabut. Partai Gelora, sebagai salah satu pengaju gugatan, mengalami teguran atas klaim bahwa tidak semua poin dalam putusan MK sesuai dengan gugatan mereka, termasuk mengenai batas usia calon. Selain Gelora, partai Buruh juga terlibat dalam pengajuan gugatan.
Menangapi keputusan tersebut, KIM plus segera merespons dengan berbagai manuver politik. Badan Legislatif mengadakan rapat maraton untuk merevisi UU Pilkada dengan tujuan membatalkan keputusan MK dan mengembalikannya pada keputusan sebelumnya. Namun tindakan ini memicu protes dari berbagai elemen masyarakat, termasuk mahasiswa, akademisi, dan buruh, yang berunjuk rasa di depan DPR-RI. Aksi tersebut menyebabkan rapat paripurna dibatalkan karena tidak memenuhi kuorum.
Pemerintah menunjukkan sikap inkonsisten terhadap keputusan MK, sebagaimana terlihat dalam proses pelolosan Gibran sebagai calon wakil presiden. Pemerintah mengisyaratkan jika RUU Pilkada belum disahkan hingga 28 Agustus, maka putusan MK dianggap tidak final dan mengikat.
Dalam perkembangan terkini, sebuah win-win solution dapat diwujudkan melalui negosiasi antara PDI-P dan Gerindra. RUU Pilkada kemungkinan akan tetap disahkan dengan memasukkan klausul batasan usia dan ambang batas, yang memungkinkan Kaesang untuk maju di Jawa Tengah berpasangan dengan M. Luthfi, serta memberi kesempatan bagi PDI-P untuk mengusung calon.
Negosiasi ini buruk pada pendekatan strategi, di mana PDI-P memilih berunding dengan Prabowo Subianto daripada Presiden Jokowi. Langkah ini dianggap lebih memudahkan proses negosiasi terjebak dalam psikologi pertarungan politik.
Dengan dinamika ini, pelaksanaan pilkada mendatang akan menjadi sesuatu yang sangat menarik untuk disaksikan, dengan berbagai perubahan dan strategi politik yang terus berkembang. ( opini AHA)