Generasi muda Indonesia, terutama Gen Z, kini menghadapi tantangan besar dalam memiliki hunian yang layak. Isu utama yang membelit mereka adalah tingginya harga properti yang terus melonjak, sementara kenaikan pendapatan rata-rata anak muda tidak sebanding dengan biaya hidup yang semakin mahal. Sebagai contoh, kenaikan harga rumah rata-rata mencapai 5-10% per tahun, sedangkan kenaikan upah minimum hanya berkisar 6-7% per tahun. Bahkan kenaikan upah tersebut dianggap tidak cukup untuk menutupi inflasi dan kenaikan harga kebutuhan hidup, sehingga semakin menyulitkan generasi muda untuk menyisihkan uang guna membeli rumah. Akibatnya, banyak dari mereka yang memilih menyewa atau tinggal bersama keluarga, memperpanjang masa ketergantungan finansial mereka. Hasil survei menunjukkan bahwa hanya 50-60% generasi muda di Indonesia yang memiliki hunian sendiri. Pasalnya, rasio keterjangkauan rumah yang idealnya bernilai 3 kali jumlah pendapatan tahunan, justru di Jakarta mencapai 8-10 kali pendapatan.
Padahal, hunian yang layak merupakan hak dasar setiap warga negara Indonesia sesuai dengan Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas tempat tinggal dan kehidupan yang layak. Realitasnya, hak ini masih sulit dicapai bagi banyak anak muda, terutama mereka yang berpenghasilan rendah, baik di perkotaan maupun pedesaan. Banyak di antara mereka yang terpaksa tinggal di pemukiman sempit dan kumuh tanpa kepastian status kepemilikan atau penguasaan rumah.
Pengaruh Mekanisme Pasar terhadap Keterjangkauan Hunian
Penyebab utama dari kesulitan ini adalah distribusi tanah dan pemukiman yang sangat ditentukan oleh mekanisme pasar (market-led agrarian reform). Laju konversi lahan untuk perumahan didorong oleh pengembang yang membeli tanah dari masyarakat, membangun perumahan, dan kemudian menjualnya kembali dengan harga jauh lebih tinggi. Hal ini mengakibatkan harga tanah dan rumah semakin sulit dijangkau, khususnya oleh generasi muda yang baru memulai karier.
Kebijakan yang Harus Mengutamakan Akses Masyarakat, Bukan Pengembang
Untuk mengatasi masalah ini, kebijakan alokasi tanah untuk perumahan harus melampaui sekadar pemberian subsidi rumah. Subsidi perumahan sering kali hanya menguntungkan pengembang tanpa menyelesaikan akar permasalahan struktural, yaitu ketidakmampuan mayoritas masyarakat, terutama anak muda, untuk mengakses hunian layak. Negara perlu hadir untuk mengatasi ketimpangan penguasaan tanah yang memungkinkan segelintir pihak menguasai lahan dalam jumlah besar. Salah satu solusi yang bisa diterapkan adalah melalui redistribusi tanah yang lebih adil, dengan regulasi yang lebih ketat. Salah satu contoh yang bisa diadopsi adalah program land trust yang telah diterapkan di negara-negara maju, yang melibatkan lembaga non-profit dalam menyediakan pemukiman terjangkau
Pentingnya Reforma Agraria yang Inklusif dan Berkeadilan
Reforma agraria untuk pemukiman sudah harus diperhatikan secara serius. Dalam hal ini, anak muda perlu berperan aktif dalam mendorong kebijakan yang berpihak pada mereka. Mengadvokasi ketersediaan hunian yang layak melalui gerakan sosial, partisipasi dalam perumusan kebijakan publik, hingga pengawasan terhadap implementasi program perumahan adalah langkah penting untuk memastikan perubahan.
Menuju Masa Depan yang Berkelanjutan dan Adil
Dengan reforma agraria untuk pemukiman yang inklusif dan berkeadilan, generasi muda Indonesia dapat menikmati hak dasar mereka akan tempat tinggal yang layak. Reformasi ini bukan hanya soal keadilan sosial, tetapi juga investasi bagi pembangunan bangsa yang berkelanjutan. Sebab, pada pundak generasi mudalah masa depan bangsa ini ditentukan.