OECD pada laporannya berjudul, Making Better Policy for Food System ditulis oleh Crippa dkk. (2021) mengungkapkan bahwa 34% emisi gas rumah kaca (GRK) buatan manusia, 73% deforestasi tropis dan subtropis berasal dari sistem pangan. Kondisi ini mendorong akselerasi pencantuman label ramah lingkungan (ekolabel) pada produk pangan, dan dorongan ini lebih diperkuat lagi dengan akan diberlakukannya Peraturan Deforestasi Uni Eropa (EUDR-European Union Deforestation Regulation) terhadap tujuh komoditas dan produk turunannya, di antaranya kopi, kakao, kedelai dan ternak sapi/daging sapi.
Istilah ekolabel mungkin tidak familier bagi sebagian dari kita sehingga tidak tahu pasti apa yang dimaksud dengan ekolabel. Ekolabel adalah logo/label pernyataan yang menunjukkan aspek lingkungan dan merupakan salah satu perangkat dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan – KLHK), sedangkan dalam Wikipedia, ekolabel didefinisikan sebagai sistem sertifikasi atau deklarasi suatu produk (barang dan jasa) yang menunjukkan bahwa produk tersebut bertanggungjawab dan memperhatikan prinsip kelestarian lingkungan.
Indonesia telah memiliki aturan hukum terkait ekolabel, yaitu Permen LHK No.2 tahun 2014 tentang Pencantuman Logo Ekolabel bagi Produk Ramah Lingkungan. Peraturan ini memiliki tujuan untuk memberi kerangka hukum yang jelas bagi perusahaan yang ingin memperoleh sertifikasi ekolabel, sekaligus melindungi konsumen yang memilih produk ramah lingkungan. Ada tiga tipe ekolabel yang berlaku di Indonesia, yaitu Ekolabel Tipe I penerapannya mengacu pada standar internasional ISO 14024; Ekolabel Tipe II mengacu pada ISO 14021; dan Ekolabel Tipe III mengacu pada ISO 14025.
Sedikit ulasan untuk masing-masing tipe ekolabel. Ekolabel Tipe I adalah ekolabel yang diakui secara internasional dan mengharuskan produk untuk memenuhi kriteria lingkungan yang ketat melalui evaluasi pihak ketiga. Kemudian Ekolabel Tipe II adalah ekolabel berdasarkan klaim lingkungan mandiri yang dinyatakan oleh produsen atau pihak lain tanpa memerlukan verifikasi pihak ketiga. Terakhir Ekolabel Tipe III menggunakan pendekatan deklarasi lingkungan berbasis analisis siklus daur hidup (Life Cycle Assessment, atau LCA), yang memberikan informasi rinci mengenai dampak lingkungan suatu produk dalam keseluruhan siklus daur hidupnya, dengan kata lain dari mulai dibuat/lahir sampai dengan dibuang/mati, dan biasanya ditujukan untuk produk-produk industri, termasuk industri pengolahan. Dilihat dari kebutuhan evaluasi oleh pihak ketiga, Ekolabel Tipe I dan Ekolabel Tipe II membutuhkan evaluasi pihak ketiga, sedangkan Ekolabel Tipe II karena merupakan deklarasi mandiri tidak membutuhkan.
Penerapan ekolabel di Indonesia menghadapi beberapa tantangan yang menghambat adopsi ketiga tipe label tersebut pada industri. Pertama keterbatasan infrastruktur dan biaya, banyak industri menghadapi kesulitan dalam mengikuti standar lingkungan yang ketat karena tingginya biaya sertifikasi, terutama Tipe I dan Tipe III. Infrastruktur untuk analisis siklus daur hidup, yang penting dalam Tipe III, juga masih terbatas. Berikutnya adalah kesadaran dan permintaan pasar, banyak konsumen Indonesia belum sepenuhnya memahami atau memperhatikan ekolabel, sehingga permintaan untuk produk-produk ramah lingkungan masih rendah. Ini berdampak pada motivasi perusahaan untuk mencantumkan ekolabel pada produk-produknya. Kemudian kapasitas lembaga sertifikasi, jumlah lembaga sertifikasi yang menyediakan verifikasi independen masih terbatas di Indonesia. Hal ini membatasi jumlah perusahaan yang dapat memperoleh sertifikasi dalam jangka waktu yang wajar.