Jakarta – Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI), Elly Rosita Silaban, menyatakan kekhawatirannya terhadap rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen, meskipun pemerintah memastikan kebijakan ini hanya berlaku untuk barang kategori mewah. Menurut Elly, masih ada kebingungan mengenai definisi barang mewah dan dampaknya terhadap barang kebutuhan masyarakat umum.
“Kategori barang mewah itu apa, kategori tidak mewah itu apa? Nanti ini bisa membingungkan masyarakat. Kalau dinaikkan pajak untuk barang mewah, otomatis barang lain, termasuk kebutuhan pokok, bisa ikut naik,” ujarnya, Selasa (17/12/2024).
Elly menegaskan, jika dalam kebijakan teknis ditemukan barang kebutuhan sehari-hari pekerja atau buruh ikut terdampak, maka KSBSI akan menolak kebijakan tersebut.
“Percuma upah naik 6,5 persen kalau kebutuhan pokok naik akibat PPN 12 persen,” tambahnya.
Penjelasan Pemerintah: Hanya Barang Mewah Kena PPN 12%
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, memastikan kenaikan PPN hanya berlaku pada barang dan jasa mewah yang dikonsumsi masyarakat berpendapatan tinggi. Beberapa contoh barang mewah meliputi:
- Bahan makanan premium: beras, daging, buah, dan ikan kualitas premium.
- Jasa premium: layanan kesehatan, pendidikan, serta listrik rumah tangga dengan daya 3.500-6.600 VA.
Airlangga menegaskan bahwa kebutuhan pokok seperti beras, sayur, gula konsumsi, jasa kesehatan umum, serta listrik di bawah 2.200 VA akan tetap bebas PPN atau dikenakan tarif 0%.
“Pemerintah tetap menjaga daya beli masyarakat melalui stimulus ekonomi,” jelasnya.
Stimulus Ekonomi untuk Masyarakat
Untuk meredam dampak kenaikan PPN, pemerintah merancang beberapa insentif, antara lain:
- PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) sebesar 1% untuk kebutuhan pokok seperti minyak goreng, tepung terigu, dan gula industri.
- Bantuan Pangan/Beras 10 kg per bulan bagi 16 juta penerima bantuan selama Januari-Februari 2025.
- Diskon listrik 50% untuk pelanggan daya 2.200 VA ke bawah selama dua bulan.
Respon Ekonom: Kebijakan Masih Penuh Tantangan
Meski demikian, ekonom menilai kebijakan ini berpotensi memicu kenaikan harga barang lain secara tidak langsung.
“Perlu pengawasan ketat agar dampak ke masyarakat berpenghasilan rendah bisa diminimalisir,” kata seorang pengamat ekonomi.
Dengan kebijakan ini, pemerintah berharap tetap menjaga keadilan sosial dan daya beli masyarakat, sembari memastikan penerimaan negara tetap optimal.