Jurnal Pelopor – Korupsi telah lama menjadi musuh terbesar pembangunan di Indonesia. Praktik ini tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi juga menghambat kesejahteraan rakyat secara luas. Di tengah janji reformasi dan pemerintahan yang bersih, wacana terbaru Presiden Prabowo Subianto untuk memaafkan koruptor menuai perdebatan. Langkah ini, meskipun mungkin bertujuan mempercepat pemulihan aset negara, justru dinilai berisiko melemahkan semangat pemberantasan korupsi dan mencederai rasa keadilan publik.
Mengapa Wacana Ini Mengundang Kontroversi?
- Kontradiktif dengan Semangat Pemberantasan Korupsi
Ingatan publik masih segar akan besarnya dampak korupsi yang menggerogoti anggaran negara dan menyengsarakan rakyat. Memaafkan koruptor tanpa proses hukum yang tegas bisa mengirimkan pesan bahwa kejahatan semacam ini dapat ditoleransi. Hal ini tentu bertentangan dengan harapan masyarakat akan pemerintahan yang bersih. - Preseden yang Berbahaya
Kebijakan seperti ini dapat menciptakan preseden buruk. Koruptor mungkin merasa hukuman bisa dihindari selama mereka memiliki pengaruh politik atau finansial. Budaya impunitas semacam ini justru berpotensi memperburuk korupsi di masa depan. - Kehilangan Kepercayaan Publik
Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan institusi penegak hukum sangat bergantung pada integritas dalam menangani kasus korupsi. Memberikan maaf kepada koruptor tanpa langkah hukum yang transparan bisa membuat rakyat merasa perjuangan mereka melawan korupsi sia-sia.
Solusi Alternatif: Restorative Justice
Jika niat utama Presiden adalah mempercepat pemulihan kerugian negara, pendekatan restorative justice bisa menjadi solusi. Koruptor dapat diberikan hukuman ringan dengan syarat:
- Mengembalikan seluruh aset hasil korupsi,
- Membayar denda yang signifikan,
- Mengakui kesalahan secara publik.
Namun, semua ini harus dilakukan dengan pengawasan ketat agar tidak merusak prinsip keadilan dan supremasi hukum.
Empat Pilar Penguatan Hukum Antikorupsi
Selain wacana kontroversial ini, Presiden Prabowo memiliki peluang besar untuk memperkuat pemberantasan korupsi melalui pengesahan dan revisi empat undang-undang krusial:
- RUU Perampasan Aset
RUU ini bertujuan menyita aset hasil kejahatan tanpa harus menunggu putusan pidana. Dengan pendekatan in rem, seperti yang diterapkan di Australia, negara dapat lebih efektif memulihkan kerugian akibat korupsi. Data Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat kerugian negara mencapai Rp279,2 triliun pada 2015-2023, sementara pemulihan aset hanya Rp37,2 triliun. Kehadiran RUU ini diharapkan dapat mengurangi kesenjangan tersebut. (Sumber: ICW) - RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal (PTUK)
RUU ini membatasi penggunaan uang tunai dalam transaksi untuk mencegah pencucian uang dan korupsi. Dengan mengurangi transaksi tunai, jejak keuangan menjadi lebih transparan dan mudah ditelusuri, meningkatkan akuntabilitas sistem keuangan. (Sumber: DPR RI, 2023) - Revisi UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)
Modus korupsi yang semakin canggih, termasuk melalui teknologi informasi dan jaringan transnasional, membutuhkan pembaruan undang-undang. Revisi UU Tipikor akan memberikan landasan hukum yang relevan untuk menindak berbagai bentuk korupsi. (Sumber: KPK, 2023) - Evaluasi UU KPK
Revisi UU KPK pada 2019 dinilai melemahkan independensi lembaga tersebut. Evaluasi lebih lanjut diperlukan untuk memastikan KPK tetap memiliki kewenangan dan independensi yang memadai sebagai garda terdepan pemberantasan korupsi. (Sumber: Antara News, 2023)
Kesimpulan
Pemberantasan korupsi adalah ujian nyata bagi komitmen seorang pemimpin. Wacana pemaafan koruptor, jika tidak dirancang dengan matang, berisiko merusak integritas sistem hukum dan kepercayaan masyarakat. Sebaliknya, penguatan fondasi hukum antikorupsi melalui pengesahan undang-undang strategis dapat menjadi langkah nyata dalam menciptakan pemerintahan yang bersih dan transparan. Langkah ini tidak hanya meningkatkan kepercayaan publik tetapi juga membuka jalan bagi pembangunan nasional yang lebih adil dan berkelanjutan. (ar)
(Referensi: Indonesia Corruption Watch, DPR RI, KPK, Antara News)