Jakarta – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menegaskan bahwa kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) yang berlaku pada layanan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) akan ditanggung oleh penjual atau merchant, bukan oleh konsumen.
Dwi Astuti, Direktur Penyuluhan dan Pelayanan DJP, menjelaskan bahwa PPN ini dikenakan pada layanan transaksi digital seperti QRIS, e-wallet, dan uang elektronik. Meskipun tarif pajaknya naik dari 11 persen menjadi 12 persen, penjual yang berkomunikasi langsung dengan penyedia layanan pembayaran yang akan menanggungnya.
“Yang dikenakan pajak adalah jasa transaksi, bukan transaksi QRIS itu sendiri,” ujar Dwi di Jakarta, Senin (23/12/2024).
Namun, meski dampak langsung terhadap harga barang dan jasa dianggap kecil, sekitar 0,9 persen, beberapa ahli berpendapat bahwa perubahan ini bisa memengaruhi biaya secara keseluruhan. Media Wahyudi Askar, dari Center of Economic and Law Studies (Celios), mengatakan bahwa kenaikan tarif PPN dapat memengaruhi seluruh komponen harga dalam rantai pasok dan proses produksi, yang pada akhirnya akan berdampak pada harga barang dan jasa.
“Meski kenaikan ini dibebankan pada merchant, biaya tersebut tetap akan dimasukkan ke dalam harga yang dibayar konsumen,” ujarnya.
Meskipun penggunaan layanan digital terus berkembang, Askar khawatir kenaikan tarif PPN dapat menghambat pertumbuhannya. Ia menyebut masyarakat berpendapatan rendah mungkin akan beralih ke pembayaran tunai untuk menghemat biaya, meskipun hanya sedikit. Pemerintah tetap meyakini bahwa dampaknya tidak akan signifikan terhadap perekonomian digital, meskipun terasa pada beberapa lapisan masyarakat.