Oleh Muhamad Musa
Kelapa sawit telah menjadi komoditas unggulan Indonesia. Industri ini berkontribusi besar terhadap perekonomian nasional dan sering disebut sebagai “emas hijau.” Namun, di balik kejayaannya, industri ini menghadapi permasalahan serius: deforestasi. Seberapa besar dampak ekspansi sawit terhadap hutan Indonesia?
Jejak Deforestasi di Balik Perkebunan Sawit
Sejak 1990-an, perkebunan sawit berkembang pesat. Pemerintah terus mendorong program mandatori biodiesel B40, yang meningkatkan permintaan minyak sawit domestik. Langkah ini mengurangi impor energi, tetapi juga mempercepat ekspansi lahan sawit secara masif.
Sementara itu, Kementerian Kehutanan mencabut Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) dari 18 perusahaan yang tidak memanfaatkan izin mereka. Menurut laporan Bisnis Indonesia (3 Februari 2025), luas lahan yang dicabut izinnya mencapai 526.144 hektare, tersebar dari Aceh hingga Papua.
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Nusron Wahid, menyebutkan bahwa ada 194 perusahaan dengan Izin Usaha Perkebunan (IUP) kelapa sawit yang belum mengajukan hak atas tanah. Total lahan yang belum tersertifikat mencapai 1.081.022 hektare. Ini menunjukkan bahwa sebagian besar perusahaan yang kehilangan izin kemungkinan berkaitan dengan industri sawit.
Kelapa Sawit: Penyerap CO2, tetapi Tetap Berisiko
Pendukung industri sawit berpendapat bahwa tanaman ini mampu menyerap karbon dioksida (CO2), layaknya hutan alami. Namun, penelitian menunjukkan bahwa hutan tropis menyimpan karbon lebih banyak dari pada perkebunan sawit.
Menurut data FAO, hutan tropis bisa menyimpan 100–300 ton karbon per hektare, sedangkan perkebunan sawit hanya menyimpan 40–80 ton per hektare. Banyak perkebunan juga didirikan di atas lahan gambut yang, ketika dikeringkan, melepaskan karbon dalam jumlah besar.
Selain itu, Reuters (7 November 2024) melaporkan bahwa peningkatan produksi minyak sawit untuk biodiesel semakin menekan ketersediaan lahan. Permintaan global yang terus meningkat mempercepat ekspansi lahan sawit tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan.
Hutan Hilang, Satwa Terancam
Selain dampak karbon, ekspansi sawit juga mengancam satwa liar. Greenpeace mencatat bahwa alih fungsi hutan menjadi perkebunan sawit menyebabkan hilangnya habitat orangutan, harimau Sumatra, dan gajah Kalimantan. Perkebunan monokultur menghilangkan sumber makanan dan tempat berlindung bagi satwa liar.
Laporan dari Olenka.id menyoroti kebijakan Hak Guna Usaha (HGU) baru, yang mewajibkan perusahaan menyerahkan 20% lahan kepada masyarakat. Namun, implementasi kebijakan ini masih penuh tantangan karena banyak perusahaan lebih memilih membayar kompensasi daripada menyerahkan lahan.
Guru Besar Kebijakan Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Prof. Dr. Ahmad Maryudi, menilai bahwa pencabutan izin ini menunjukkan lemahnya seleksi dalam pemberian izin pengelolaan hutan. Ia menekankan pentingnya evaluasi lingkungan sebelum izin diberikan, termasuk Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), agar perusahaan yang beroperasi memiliki komitmen terhadap keberlanjutan.
Kesimpulan: Jalan Tengah untuk Sawit Berkelanjutan
Industri kelapa sawit memberikan manfaat ekonomi besar bagi Indonesia, termasuk menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan devisa negara. Namun, jika pengelolaan tidak tepat, maka, dampaknya terhadap lingkungan akan sangat besar.
Solusi terbaik bukanlah melarang atau memperluas perkebunan tanpa batas, tetapi mengatur industri ini dengan lebih ketat. Sertifikasi seperti Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dan kebijakan pemerintah dalam menata perizinan harus ditegakkan secara konsisten. Jika tidak, kelapa sawit akan terus menjadi komoditas kontroversial—menguntungkan sebagian pihak tetapi merusak ekosistem secara luas.
Apakah kita benar-benar siap mengorbankan hutan demi “emas hijau”?
Referensi:
- Reuters (14 Februari 2025). “Pemerintah Dorong Mandatori B40, Permintaan Sawit Domestik Meningkat.”
- Bisnis Indonesia (3 Februari 2025). “Pemerintah Cabut 18 Izin Perusahaan Pemanfaatan Hutan.”
- Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) (Januari 2025). “194 Perusahaan Sawit Belum Ajukan Hak atas Tanah.”
- FAO (Food and Agriculture Organization). “Carbon Storage in Tropical Forests vs. Oil Palm Plantations.”
- Reuters (7 November 2024). “Ekspansi Minyak Sawit untuk Biodiesel Meningkatkan Tekanan terhadap Lahan.”
- Greenpeace. “Ekspansi Sawit dan Ancaman terhadap Habitat Satwa Liar.”
- Olenka.id. “Implementasi Kebijakan Hak Guna Usaha (HGU) 20% untuk Masyarakat.”
- Prof. Dr. Ahmad Maryudi, Universitas Gadjah Mada (UGM). “Evaluasi Izin Perkebunan dan Dampak terhadap Ekosistem Hutan.”
Baca Juga:
Sri Mulyani Klarifikasi Isu Anggaran, Jamin Layanan Publik dan Pendidikan Tetap Terjaga
Sri Mulyani Klarifikasi Isu Anggaran, Jamin Layanan Publik dan Pendidikan Tetap Terjaga
Saksikan berita lainnya:
Penyelundupan Barang Ilegal: Bisnis Haram yang Tak Pernah Mati!
Komentar Terbaru