Oleh: Muhammad Musa
Jurnal Pelopor – Indonesia, dengan luas lahan sawah mencapai 7,4 juta hektare dan iklim tropis yang memungkinkan panen lebih dari sekali dalam setahun, seharusnya memiliki modal besar untuk menjadi eksportir beras utama di ASEAN. Namun, realitasnya berbicara lain. Thailand dan Vietnam masih menjadi dua negara dominan dalam ekspor beras, sementara Indonesia justru lebih sering berada dalam posisi mengimpor. Mengapa demikian? Dan apakah Indonesia masih memiliki peluang untuk bangkit sebagai eksportir beras terbesar di kawasan?
Kenyataan di Balik Produksi Beras Indonesia
Sebagai negara dengan populasi terbesar keempat di dunia, kebutuhan pangan Indonesia sangat besar. Dengan jumlah penduduk mencapai 283 juta jiwa pada 2024, hampir tiga kali lipat dari Vietnam dan empat kali lipat dari Thailand, sebagian besar produksi beras Indonesia terserap untuk konsumsi domestik. Pemerintah menargetkan produksi 32 juta ton pada 2025 dan, dalam skenario terbaik, dapat mencapai 36 juta ton dengan optimalisasi lahan tambahan. Ini berarti surplus yang dapat dialokasikan untuk ekspor hanya sekitar 5-6 juta ton, angka yang relatif kecil dibandingkan kapasitas ekspor Thailand yang mencapai 8 juta ton per tahun.
Namun, masalah Indonesia bukan hanya soal produksi, tetapi juga distribusi dan kebijakan. Infrastruktur pertanian yang kurang memadai, biaya logistik tinggi, serta ketergantungan pada sistem irigasi konvensional membuat harga beras Indonesia sulit bersaing di pasar global. Sementara itu, Thailand dan Vietnam sudah lebih dulu mengadopsi mekanisasi pertanian dan efisiensi logistik yang kuat, sehingga mampu menghasilkan beras dengan harga yang lebih kompetitif.
Keunggulan Thailand dan Vietnam: Pelajaran untuk Indonesia
Thailand dan Vietnam telah lama memahami pentingnya efisiensi dan strategi ekspor yang agresif. Ada tiga faktor utama yang membuat kedua negara ini mendominasi pasar beras dunia:
- Efisiensi Produksi dan Mekanisasi
- Lebih dari 80% lahan sawah di Delta Mekong, Vietnam, telah menggunakan sistem irigasi modern.
- Thailand memberikan subsidi pupuk dan benih untuk membantu petani meningkatkan produktivitas tanpa meningkatkan biaya produksi.
- Kebijakan Ekspor yang Progresif
- Thailand memanfaatkan beras premium seperti Thai Hom Mali (Jasmine Rice) untuk mendapatkan harga lebih tinggi di pasar ekspor.
- Vietnam memilih untuk membatasi ekspor hanya 4 juta ton pada 2024 agar dapat meningkatkan kualitas dan nilai jual beras mereka.
- Manajemen Surplus yang Efektif
- Thailand dan Vietnam memiliki surplus besar yang dapat dialokasikan untuk ekspor tanpa mengganggu stabilitas harga domestik.
Indonesia, di sisi lain, masih berkutat dengan permasalahan yang menghambat surplus beras untuk ekspor, mulai dari mafia distribusi hingga inefisiensi dalam rantai pasok pertanian.
Tantangan Besar di Sektor Pertanian Indonesia
Jika Indonesia ingin menjadi pemain utama dalam ekspor beras, ada beberapa masalah mendesak yang harus diselesaikan:
- Harga Gabah yang Belum Stabil
Pemerintah telah menetapkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) sebesar Rp6.500 per kilogram, tetapi implementasinya belum merata. Di beberapa daerah, petani masih menjual gabah di bawah harga tersebut karena keterbatasan akses pasar dan dominasi tengkulak. - Mafia Pupuk dan Kenaikan Harga
Kenaikan harga pupuk menjadi kendala besar bagi petani. Selain itu, skandal pupuk palsu yang merugikan petani hingga Rp3,2 triliun menunjukkan bahwa masalah ini tidak hanya sebatas biaya produksi, tetapi juga korupsi dalam distribusi pupuk bersubsidi. - Permainan Harga oleh Tengkulak dan Mafia Beras
Tengkulak sering kali membeli gabah dengan harga murah dari petani tetapi menjual dengan harga tinggi kepada konsumen. Selain itu, praktik penimbunan beras oleh oknum tertentu semakin memperburuk situasi. - Korupsi di Sektor Pertanian
Penyalahgunaan wewenang dalam distribusi pupuk dan bantuan pemerintah membuat banyak petani kesulitan mendapatkan sumber daya yang mereka butuhkan.
Peluang Indonesia untuk Bangkit
Meskipun menghadapi berbagai tantangan, Indonesia masih memiliki peluang besar untuk menjadi eksportir beras utama ASEAN. Namun, ini membutuhkan strategi yang tepat:
- Reformasi Sistem Distribusi
Pemerintah perlu membangun rantai pasok yang lebih efisien dengan memperbaiki infrastruktur dan memberantas praktik monopoli oleh tengkulak serta mafia beras. - Peningkatan Mekanisasi Pertanian
Investasi dalam alat pertanian modern dapat membantu petani meningkatkan produktivitas dan mengurangi biaya produksi. - Kebijakan Ekspor yang Seimbang
Alih-alih hanya fokus pada produksi massal, Indonesia bisa meniru strategi Vietnam dengan menargetkan ekspor beras berkualitas tinggi. - Pengawasan Ketat dan Pemberantasan Korupsi
Pengawasan distribusi pupuk dan bantuan pertanian harus diperketat untuk memastikan petani mendapatkan manfaat yang seharusnya.
Kesimpulan: Indonesia Harus Berani Berubah
Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi eksportir beras terkemuka di ASEAN, tetapi masih banyak tantangan yang harus diatasi. Keberhasilan Thailand dan Vietnam dalam menaklukkan pasar beras dunia menunjukkan bahwa efisiensi, kebijakan ekspor yang cerdas, dan manajemen surplus yang baik adalah kunci utama. Jika Indonesia ingin mengejar ketertinggalan, langkah reformasi di sektor pertanian harus segera dilakukan. Tanpa perubahan yang mendasar, Indonesia akan terus tertinggal dan hanya menjadi raksasa pertanian yang tertidur.
Baca Juga:
Danantara: Transformasi Ekonomi atau Ancaman bagi Kedaulatan Fiskal?
Danantara: Transformasi Ekonomi atau Ancaman bagi Kedaulatan Fiskal?
Saksikan berita lainnya:
Penyelundupan Barang Ilegal: Bisnis Haram yang Tak Pernah Mati!
Nikel Indonesia Diperebutkan! Siapa Sebenarnya Berkuasa?
Komentar Terbaru