Oleh: Muhammad Musa
Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menyatakan bahwa pertanian bisa menjadi jalan bagi Indonesia untuk menjadi negara superpower dalam 5-10 tahun ke depan. Optimisme ini tentu bukan tanpa dasar, mengingat Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah, tanah yang subur, dan potensi pasar yang besar.
Namun, ada satu pertanyaan besar: Apakah generasi muda siap mengambil peran ini?
Di satu sisi, pemuda Indonesia memiliki kreativitas, akses ke teknologi, dan energi yang besar. Namun di sisi lain, ada kelemahan yang sering muncul, yaitu mentalitas yang cenderung menginginkan hal yang instan dan nyaman tanpa perjuangan panjang. Banyak anak muda lebih tertarik pada pekerjaan yang dianggap “enak” seperti kerja kantoran atau industri digital daripada harus berkotor-kotor di sawah atau ladang.
Padahal, tidak ada kesuksesan tanpa kerja keras dan kerja cerdas. Jika generasi muda benar-benar ingin menjadikan pertanian sebagai sektor yang menjanjikan, mereka harus mengubah pola pikir dan memahami bahwa bertani bukan hanya soal kerja fisik, tetapi juga inovasi, strategi, dan ketahanan mental.
India Sebagai Kiblat Pertanian?
India telah membuktikan bahwa pertanian bisa menjadi sektor yang modern dan menguntungkan. Dengan peningkatan anggaran hingga $20 miliar, penerapan kecerdasan buatan (AI) dalam pertanian, serta program jangka panjang untuk swasembada, India berhasil meningkatkan produktivitas pertanian mereka secara drastis.
Namun, jika Indonesia ingin menjadikan India sebagai kiblat, ada beberapa tantangan yang harus diselesaikan:
- Struktur kepemilikan lahan di Indonesia lebih kecil → India memiliki lahan pertanian luas, sementara di Indonesia mayoritas petani memiliki lahan kecil.
- Minat generasi muda terhadap pertanian masih rendah → India berhasil menarik pemuda ke sektor pertanian dengan insentif dan kebijakan pro-petani, sementara di Indonesia sektor ini masih di anggap kurang menarik.
- Stabilitas kebijakan pertanian → India menerapkan kebijakan pertanian jangka panjang, sementara di Indonesia sering terjadi perubahan kebijakan yang membuat petani sulit beradaptasi.
Indonesia bisa meniru India bukan hanya dalam sistem pertanian, tetapi juga dalam pembangunan mentalitas petaninya. Jika India bisa mendorong anak muda untuk bekerja keras dan berpikir strategis dalam pertanian, mengapa Indonesia tidak bisa?
Gengsi dan Modal: Hambatan Utama Pemuda dalam Bertani
Banyak anak muda menganggap pertanian sebagai pekerjaan yang tidak bergengsi dan kurang menguntungkan. Namun, di sisi lain, mereka juga mengeluhkan sulitnya mendapatkan modal untuk memulai usaha pertanian.
Namun, apakah modal besar menjamin sukses dalam pertanian? Jawabannya: Tidak selalu. Banyak faktor lain yang jauh lebih menentukan keberhasilan, seperti:
- Kemampuan mengelola risiko → Sektor pertanian penuh ketidakpastian, mulai dari cuaca hingga harga pasar.
- Pemanfaatan teknologi → Petani yang menggunakan inovasi pertanian akan lebih unggul dibandingkan mereka yang masih bertani secara tradisional.
- Strategi pemasaran → Hasil pertanian harus bisa dipasarkan dengan baik agar tidak merugi.
Jadi, mentalitas kerja keras dan kerja cerdas jauh lebih penting daripada sekadar modal besar. Modal memang penting, tetapi tanpa strategi yang tepat, modal besar pun bisa habis tanpa hasil yang maksimal.
Solusi Modal: Pinjaman Rendah Bunga dan Skema Pembelian oleh Bulog
Pemerintah tidak perlu memberikan subsidi besar-besaran yang sering tidak efektif. Sebagai gantinya, ada solusi yang lebih strategis:
- Pinjaman modal dengan bunga rendah
- Petani muda diberikan pinjaman modal dengan bunga rendah agar bisa memulai usaha pertanian tanpa tekanan finansial yang besar.
- Program ini harus diawasi agar benar-benar digunakan untuk kegiatan pertanian, bukan dialihkan ke sektor lain.
- Kewajiban menjual hasil panen ke Bulog
- Untuk menjaga kestabilan pasar, petani yang mendapat pinjaman wajib menjual sebagian hasil panennya ke Bulog dengan harga yang telah ditetapkan.
- Ini akan memberikan kepastian pendapatan bagi petani dan memastikan stok pangan nasional tetap aman.
- Modernisasi sistem distribusi
- Pemerintah harus mempercepat distribusi hasil panen agar harga stabil. Rantai distribusi yang panjang bisa merugikan petani dan konsumen.
Dengan sistem ini, petani mendapatkan modal tanpa terbebani bunga tinggi, pemerintah mendapatkan cadangan pangan, dan konsumen mendapatkan harga yang stabil.
Kesimpulan: Masa Depan Pertanian Ada di Tangan Pemuda yang Mau Berjuang
Jika generasi muda masih terjebak dalam mentalitas ingin kerja nyaman tanpa tantangan, maka pertanian tidak akan pernah menjadi sektor yang maju. Untuk sukses dalam pertanian, kerja keras dan kerja cerdas adalah kunci utama—bukan sekadar modal besar atau harapan keuntungan instan.
Pemerintah memang harus menyediakan akses permodalan dan kebijakan yang mendukung. Namun yang lebih penting adalah kesadaran generasi muda bahwa pertanian adalah sektor yang bisa maju jika di kelola dengan strategi yang tepat.
Jika anak muda mau bekerja keras dan berinovasi, Indonesia bisa menjadi lumbung pangan dunia. Jika anak muda mencari jalan pintas dan menghindari tantangan, pertanian akan stagnan, dan Indonesia semakin bergantung pada impor pangan.
Jadi, pilihan ada di tangan kita: Mau berjuang dan sukses, atau tetap mencari jalan yang paling nyaman tanpa hasil yang nyata?
Baca Juga:
Petani Susah, Beras Mahal: Siapa yang Bermain?
Saksikan berita lainnya:
Komentar Terbaru