Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan sumber daya minyak yang melimpah. Namun, ironisnya, kita masih bergantung pada impor minyak mentah dan bahan bakar minyak (BBM). Pertamina, sebagai BUMN yang bertanggung jawab atas sektor energi, justru lebih banyak mengolah minyak impor dibandingkan minyak dalam negeri. Dengan hadirnya Danantara Indonesia, sovereign wealth fund yang kini mengelola aset Pertamina dan BUMN lainnya, diharapkan ada perubahan kebijakan dalam sektor energi. Tetapi, apakah ini benar-benar akan mengurangi ketergantungan impor atau justru mempertahankan status quo yang menguntungkan segelintir pihak?
Ketergantungan pada Impor Minyak
Pada tahun 2025, produksi minyak mentah Indonesia diproyeksikan mencapai sekitar 576.000 barel per hari, sementara konsumsi BBM nasional diperkirakan mencapai 1,4 hingga 1,5 juta barel per hari. Artinya, produksi dalam negeri hanya mampu memenuhi sekitar 40% kebutuhan nasional. Namun, yang lebih mengejutkan, sebagian minyak mentah yang diproduksi dalam negeri justru diekspor, sementara Pertamina tetap mengimpor minyak dari luar negeri. Mengapa ini terjadi?
Kilang Pertamina Tidak Cocok dengan Minyak Domestik
Salah satu penyebab utama adalah ketidaksesuaian kilang minyak Pertamina dengan karakteristik minyak mentah domestik. Sebagian besar minyak mentah Indonesia memiliki kandungan sulfur tinggi dan berat (heavy crude), sedangkan kilang Pertamina lebih cocok mengolah minyak mentah ringan (light crude) yang banyak diimpor dari Timur Tengah dan negara lain.
Upaya modernisasi kilang sudah di rencanakan dalam proyek Refinery Development Master Plan (RDMP) dan pembangunan kilang baru dalam proyek Grass Root Refinery (GRR). Proyek-proyek ini mencakup:
- Proyek RDMP Balikpapan – Di targetkan selesai pada tahun 2025 dengan peningkatan kapasitas pengolahan sebesar 100.000 barel per hari.
- Megaproyek GRR Tuban – Senilai US$13,5 miliar, proyek ini di kerjakan bersama Rosneft Singapore Pte Ltd namun masih mengalami hambatan dalam realisasinya.
Sayangnya, proyek-proyek ini sering mengalami keterlambatan, di sebabkan oleh birokrasi yang berbelit, kesulitan mencari investor, dan dugaan adanya kepentingan tertentu yang lebih menguntungkan impor di bandingkan pembangunan kilang baru.
Siapa yang Diuntungkan dari Impor Minyak?
Banyak pihak menduga bahwa impor minyak lebih menguntungkan bagi segelintir elite di bandingkan menggunakan minyak dalam negeri. Dugaan ini di perkuat oleh beberapa fakta berikut:
- Kontrak Jangka Panjang dengan Kilang Luar Negeri – Indonesia mengimpor BBM dari Singapura, Malaysia, dan negara lain dengan kontrak jangka panjang, karena biaya produksi kilang luar negeri lebih rendah di bandingkan kilang dalam negeri yang masih memakai teknologi lama.
- Praktik Markup Harga dalam Impor BBM – Laporan dari Reuters pada Maret 2025 mengungkapkan bahwa lima eksekutif Pertamina di tangkap atas tuduhan korupsi terkait impor minyak, yang menyebabkan kerugian negara sebesar $12 miliar.
- Mandeknya Pembangunan Kilang Baru – Jika kilang baru di bangun, impor BBM akan berkurang dan bisnis impor minyak bisa terancam. Ada dugaan bahwa lambatnya pembangunan kilang di sengaja agar bisnis impor tetap menguntungkan bagi oknum tertentu.
Apakah SDM Indonesia Tidak Mampu Mengelola Energi?
Indonesia sebenarnya tidak kekurangan tenaga ahli di bidang migas. Banyak insinyur Indonesia bekerja di perusahaan besar seperti ExxonMobil, Chevron, dan Shell. Namun, kebijakan energi yang ada tidak mendukung kemandirian nasional. Beberapa tantangan utama yang di hadapi tenaga ahli dalam negeri antara lain:
– Minimnya kesempatan bagi insinyur lokal untuk memimpin proyek strategis.
– Gaji dan fasilitas lebih kompetitif di luar negeri.
– Politik dan birokrasi menghambat inovasi serta eksekusi proyek besar.
Jika Danantara serius ingin memperbaiki sektor energi, mereka harus membuka lebih banyak peluang bagi tenaga ahli dalam negeri.
Apakah Danantara Bisa Mengubah Arah Kebijakan Energi?
Danantara Indonesia di luncurkan dengan modal awal Rp 320 triliun (USD 20 miliar). Ini bisa menjadi solusi bagi pengelolaan energi nasional, tetapi keberhasilannya tergantung pada beberapa faktor:
- Apakah Danantara benar-benar akan membangun kilang baru?
- Apakah akan ada transparansi dalam pengelolaan dana?
- Bagaimana kebijakan pemerintah dalam memastikan kemandirian energi?
Jika Danantara hanya fokus pada investasi keuangan tanpa membangun kilang baru, ketergantungan impor akan tetap berlanjut, menguntungkan segelintir pihak.
Kesimpulan: Indonesia Akan Tetap Menjadi Negara Pengimpor Minyak?
- Kilang Pertamina tidak cocok dengan minyak domestik, dan modernisasi berjalan lambat.
- Impor minyak lebih menguntungkan elite bisnis dan politik di bandingkan membangun kilang baru.
- SDM Indonesia sebenarnya mampu, tetapi kebijakan energi tidak mendukung kemandirian.
- Danantara bisa menjadi solusi jika benar-benar berinvestasi di sektor energi.
Jika kebijakan energi tidak segera di ubah, Indonesia akan tetap menjadi negara pengimpor minyak, meskipun memiliki sumber daya sendiri. Yang di butuhkan adalah keberanian politik, reformasi kebijakan, dan eksekusi nyata dalam pembangunan kilang dalam negeri.
Daftar Pustaka
2. CNBC Indonesia. (2025, 20 Februari). Prabowo Sebut Danantara Dimodali US$20 Miliar, Ini Sumbernya.
4. Kompas. (2025, 14 Februari). Investasi Awal Danantara 20 Miliar Dollar AS, Begini Respons BKPM.
Baca Juga:
Safari Ramadhan 1446 H Perdana PDPM Lamongan: Syiar Islam, Ukhuwah, dan Tebar Kebaikan di Desa Cerme
Pengajian Umum Majelis Sahabat Qur’an Spesial Ramadhan di Surau Madani: Kebersamaan, Ilmu, dan Keberkahan
Saksikan berita lainnya:
Komentar Terbaru