Baru-baru ini, salah satu oknum petinggi negeri ini kembali jadi sorotan. Bukan karena prestasi gemilang atau gebrakan strategis, melainkan karena komentarnya yang menyebut para pengkritik RUU TNI sebagai “kampungan”. Pernyataan ini jelas mengundang tanda tanya besar: siapa sebenarnya yang kampungan?
Celana Dalam Rp170 Juta: Kampungan atau Elite?
Mari kita telaah. Seseorang disebut kampungan jika masih mengandalkan uang rakyat untuk kepentingan pribadi, bahkan untuk hal sepele. Kampungan itu kalau sudah jadi pejabat tinggi, tapi masih gagal memahami bahwa kritik adalah bagian dari demokrasi, bukan sekadar ocehan orang kurang kerjaan. Kampungan itu kalau berteriak-teriak soal nasionalisme, tapi lupa bahwa menghamburkan uang negara untuk belanja pribadi adalah bentuk lain dari pengkhianatan terhadap rakyat.
Menurut laporan yang beredar, termasuk yang diungkap oleh akun X @mawa_kresna, Kodiklat TNI menggunakan e-katalog untuk membeli celana dalam dengan dana yang mencapai Rp170 juta lebih. Angka yang, jujur saja, bikin kita bertanya-tanya: apakah celana dalam ini di buat dari emas murni? Atau mungkin ada fitur khusus yang tidak di ketahui rakyat biasa? Sebab, kalau hanya sekadar untuk kebutuhan standar, rasanya anggaran segitu cukup untuk membelikan celana dalam bagi satu kabupaten.
RUU TNI dan Ancaman Dwifungsi
Di sisi lain, ketika masyarakat mempertanyakan dwifungsi TNI yang terselip dalam RUU TNI, mereka malah di cap kampungan. Aneh, bukan? Sejak kapan mempertanyakan kebijakan negara jadi tindakan kampungan? Justru sebaliknya, berdebat soal kebijakan adalah ciri dari masyarakat yang maju dan kritis. Yang kampungan itu adalah mereka yang alergi kritik, tapi di saat bersamaan masih asyik menikmati fasilitas negara untuk kepentingan pribadi.
RUU TNI sendiri bukan isu kecil. Ini menyangkut masa depan demokrasi dan bagaimana peran militer dalam pemerintahan sipil. Kritik terhadap dwifungsi bukan sekadar ketakutan irasional, melainkan pelajaran dari sejarah. Era Orde Baru sudah membuktikan bagaimana militer yang terlalu dalam mencampuri urusan sipil bisa mengarah pada otoritarianisme. Jadi, wajar jika publik mempertanyakan, apalagi ketika ada indikasi bahwa RUU ini berpotensi membuka jalan bagi kembalinya dominasi TNI di ranah non-militer.
Pemimpin Seharusnya Bijak, Bukan Alergi Kritik
Sebagai pejabat tinggi, seharusnya petinggi tersebut tidak terburu-buru merendahkan kritik. Sebaliknya, ia perlu membuka ruang diskusi dan menunjukkan bahwa TNI benar-benar berkomitmen pada demokrasi. Sebab, di era sekarang, kepemimpinan bukan lagi soal siapa yang paling galak berteriak, tapi siapa yang paling bijak menanggapi.
Jadi, sebelum menyebut orang lain kampungan, ada baiknya bercermin dulu. Kalau kritik di bilang kampungan, lalu bagaimana dengan pejabat yang celana dalamnya masih di bayar pakai uang rakyat?
Baca Juga:
Bukan Perbaiki Sistem, Justru Bangun Penjara di Pulau Terpencil!
RUU TNI: Lanjutkan Pembahasan di DPR, Ini yang Akan Di bahas!
Nuzulul Quran 17 Ramadhan: Malam Istimewa, Jangan Lewatkan!
Saksikan berita lainnya:
Komentar Terbaru