Jurnal Pelopor – Pasar keuangan Indonesia mengalami guncangan besar pada Selasa (18/3/2025), ditandai dengan anjloknya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sebesar 6,12% ke level 6.078. Bursa Efek Indonesia (BEI) bahkan harus memberlakukan trading halt pada pukul 11.39 WIB hingga 11.49 WIB untuk mencegah kejatuhan lebih lanjut. Tidak hanya IHSG, imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun juga melonjak ke 7,025%, tertinggi sejak 4 Februari 2025.
Ternyata, ini biang kerok merosotnya IHSG lebih dari 6% pada perdagangan Selasa tersebut. Beberapa saham perbankan menjadi pemberat utama (laggard) indeks, seperti BBCA, BBRI, hingga BMRI. Pengamat perbankan dan praktisi sistem pembayaran Arianto Muditomo menilai bahwa penurunan tajam IHSG kali ini disebabkan oleh kombinasi berbagai faktor fundamental.
Salah satu penyebab utama adalah defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang semakin melebar akibat penerimaan pajak yang turun hingga 30 persen. Kondisi ini memicu kekhawatiran terhadap stabilitas fiskal dan menurunkan kepercayaan investor terhadap perekonomian domestik.
“Penurunan IHSG ini diperkirakan akibat kombinasi beberapa faktor utama, termasuk defisit APBN yang meningkat karena penerimaan pajak turun 30 persen,” kata Arianto.
1. Aksi Jual Investor
Selain itu, aksi jual investor asing turut memperberat tekanan terhadap pasar saham. BEI mencatat bahwa sepanjang tahun 2025 hingga 14 Maret, terjadi net sell asing senilai Rp26,04 triliun. Sementara pekan lalu nilai jual asing di bursa saham menembus Rp3,69 triliun.
“Juga ada faktor kejatuhan saham berkapitalisasi besar seperti DCII yang anjlok 20 persen,” jelas Arianto.
Keluarnya dana asing dari pasar saham Indonesia mencerminkan kekhawatiran investor terhadap prospek pertumbuhan ekonomi nasional yang semakin tidak menentu.
2. Sentimen Eksternal
Dari sisi eksternal, ketegangan geopolitik global serta kekhawatiran akan potensi resesi di Amerika Serikat turut memperburuk sentimen pasar. Analis menilai ada kecemasan terhadap dampak tarif dagang dari Amerika Serikat terhadap perekonomian global.
“Asing mereposisi portofolionya di pasar modal negara berkembang (emerging market), khawatir terhadap dampak perang tarif. Namun, yang paling terdampak justru pasar modal Indonesia,” kata Ekonom BCA David Sumual.
3. Kekhawatiran Investor
Vice President Marketing, Strategy, and Planning Kiwoom Sekuritas Indonesia, Oktavianus Audi, mengatakan bahwa penurunan IHSG menunjukkan anomali jika dibandingkan dengan bursa regional Asia lainnya. Bursa-bursa seperti Nikkei menguat 1,4%, Shanghai naik 0,09%, STI naik 1%, dan FKLCI naik 1%. Hal ini menunjukkan bahwa investor lebih khawatir terhadap ekonomi Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan.
“Hal ini bisa menunjukkan kekhawatiran investor akan stabilitas ekonomi Indonesia dan pasar keuangan yang kurang kompetitif,” kata Audi.
Jika melihat risk premium Indonesia, lanjut Audi, saat ini tergolong tinggi dibandingkan dengan Amerika Serikat. Hal ini terlihat dari peningkatan Credit Default Swap (CDS) ke 76 basis poin per 27 Februari 2025, depresiasi rupiah sebesar 0,6% periode Januari-Februari 2025, serta pelebaran spread SBN dengan UST 10Y hingga 255 basis poin.
4. Rating Saham Indonesia
Selain itu, pemangkasan rating saham-saham Indonesia oleh lembaga keuangan global seperti Morgan Stanley dan Goldman Sachs juga semakin memperburuk kondisi pasar. Mereka menyoroti pelebaran defisit anggaran yang mendorong fiscal risk.
Tekanan jual asing yang masih sangat kuat juga menjadi faktor yang harus diperhitungkan. Hingga 17 Maret 2025, tercatat investor asing mencatatkan outflow sebesar Rp26,9 triliun dari pasar saham Indonesia.
Namun, Audi optimistis bahwa tekanan outflow ini akan berkurang seiring dengan relaksasi suku bunga, baik oleh The Fed (Federal Funds Rate) maupun Bank Indonesia (BI rate). Jika kebijakan tarif global mulai mereda, hal ini bisa menjadi momentum bagi IHSG untuk kembali pulih.
“Selain itu, ekonomi makro dalam negeri yang masih kuat, baik pertumbuhan PDB maupun penguatan nilai rupiah, akan memberikan sentimen positif bagi pasar,” tutur Audi.
Pemerintah Harus Bertindak Nyata
Sekadar menyalahkan faktor eksternal tidak akan menyelesaikan masalah. Pemerintah harus segera mengevaluasi kebijakan ekonomi yang justru menambah kepanikan pasar. Kepercayaan investor harus di pulihkan dengan tindakan konkret, bukan hanya dengan pernyataan yang menenangkan tanpa solusi nyata.
Pasar membutuhkan kebijakan ekonomi yang lebih terukur dan stabil. Jika tidak ada langkah cepat dan strategis, kepercayaan pasar akan semakin tergerus, membawa dampak lebih besar bagi perekonomian nasional.
Sumber: IDX Channel, Okezone
Baca Juga:
Bukan Perbaiki Sistem, Justru Bangun Penjara di Pulau Terpencil!
Geger! Oknum TNI Diduga Terlibat dalam Penembakan 3 Polisi di Way Kanan?
Nuzulul Quran 17 Ramadhan: Malam Istimewa, Jangan Lewatkan!
Saksikan berita lainnya:
Komentar Terbaru