Jurnal Pelopor – Rencana revisi Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) terus menjadi perbincangan hangat. Perubahan ini mendapat sorotan dari media asing, terutama terkait penempatan prajurit aktif di jabatan sipil. Mereka khawatir Dwifungsi ABRI akan kembali.
Pemerintah dan DPR RI saat ini membahas revisi yang memperbolehkan lebih banyak perwira TNI aktif mengisi jabatan sipil. Selain itu, usia pensiun prajurit akan bertambah. Bintara dan tamtama pensiun di usia 58 tahun, perwira di usia 60 tahun, dan prajurit fungsional di usia 65 tahun.
Namun, perubahan ini memunculkan kritik, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Beberapa media asing menilai revisi ini bisa berdampak buruk pada demokrasi Indonesia.
Media Asing Soroti Revisi UU TNI
1. The Straits Times: Bangkitnya Dwifungsi ABRI?
Dalam artikel “Concerns Grow Over Military’s Role in Indonesia as Prabowo Appoints Officers to Civilian Posts”, The Straits Times menyoroti kemungkinan kembalinya Dwifungsi ABRI.
Media asal Singapura ini mengingatkan bahwa Dwifungsi ABRI pernah memberi militer peran dominan dalam pemerintahan. Sistem ini dihapus pada 1998 karena menyebabkan korupsi, represi politik, dan kontrol ketat terhadap media.
Jika revisi UU TNI disahkan, Indonesia berisiko kembali ke sistem lama. Ini dianggap sebagai langkah mundur bagi demokrasi di Asia Tenggara.
2. Bloomberg: Presiden Perkuat Pengaruh Militer
Bloomberg dalam laporannya “Indonesia Debates Bigger Role for Military Under Prabowo”, menyoroti upaya Presiden RI meningkatkan peran TNI dalam pemerintahan.
Menurut mereka, revisi ini membuka peluang bagi militer untuk terlibat lebih dalam dalam urusan sipil. Hal ini berpotensi merusak stabilitas demokrasi Indonesia.
Bloomberg juga menyebut bahwa revisi ini melanggar hukum. Meski UU TNI sudah berusia lebih dari 20 tahun, perubahan yang di usulkan justru di anggap melemahkan supremasi sipil.
3. Reuters: Prajurit Aktif Harus Mundur dari Dinas Militer
Kantor berita Reuters dalam artikel “Indonesia Begins Debate on Allowing Soldiers to Take Civilian Posts”, menegaskan bahwa revisi UU TNI bertentangan dengan aturan lama.
Saat ini, prajurit aktif harus mengundurkan diri sebelum menduduki jabatan sipil. Namun, Presiden RI sudah menunjuk beberapa perwira aktif untuk mengisi jabatan sipil, termasuk Letnan Kolonel Teddy Indra Wijaya sebagai Sekretaris Kabinet.
Revisi ini mendapat kritik dari aktivis dan mahasiswa. Mereka khawatir Dwifungsi ABRI akan kembali dan militer bisa semakin mendominasi pemerintahan sipil.
4. The Diplomat: Pemerintahan Bernuansa Militer
Media AS, The Diplomat, menyoroti meningkatnya pengaruh militer dalam pemerintahan Indonesia.
Dalam artikel “Indonesia’s Government Dilutes Proposed Changes to Military Law”, mereka menyebut banyaknya perwira aktif dan pensiunan TNI yang kini menduduki posisi penting.
Jika revisi di sahkan, militer bisa semakin mendominasi kabinet, kementerian, hingga peradilan. Ini berpotensi melemahkan supremasi sipil dan mengubah dinamika politik Indonesia.
Revisi UU TNI: Langkah Maju atau Mundur?
Perdebatan soal revisi UU TNI terus berlanjut. Pemerintah berargumen bahwa perubahan ini akan meningkatkan fleksibilitas militer. Namun, kritik menyebut ini adalah langkah mundur yang bisa mengancam supremasi sipil.
Dengan sorotan tajam dari media internasional, publik mulai mempertanyakan dampak dari revisi ini. Apakah perubahan ini akan memperkuat negara atau justru melemahkan demokrasi?
Baca Juga:
IHSG Keok! Investor Mulai Kabur?
Klasemen Grup C: Indonesia Terperosok, Bahrain Ancaman!
Saksikan berita lainnya:
Komentar Terbaru