Yoyok ABP
Program “Lapor Mas Wapres” yang baru saja diluncurkan oleh Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka menjadi angin segar bagi masyarakat Indonesia. Lewat program ini, warga bisa menyampaikan keluhan atau aspirasi secara langsung kepada Wapres, baik lewat WhatsApp maupun secara tatap muka. Bagi sebagian orang, ini mungkin hanya sekadar kanal pengaduan tambahan, namun bagi warga yang sering merasa diabaikan, langkah ini membawa harapan baru.
Apakah ini berarti birokrasi kita masih perlu diperbaiki? Tentu saja. Jika sebuah pengaduan perlu naik hingga ke Wakil Presiden, bisa jadi masyarakat mulai kehilangan kepercayaan pada pejabat yang lebih dekat di lapisan bawah. Program ini sekaligus menyoroti tantangan lama: kurangnya responsivitas dan transparansi dalam birokrasi yang harusnya mampu menangani masalah-masalah di daerah.
Di sisi lain, program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang juga digulirkan pemerintah menggarisbawahi persoalan yang serupa. BLT yang diberikan langsung kepada warga tanpa perantara kadang mencerminkan ketidakpercayaan pada rantai birokrasi di bawah. Dengan adanya bantuan langsung, pemerintah berusaha memastikan bantuan sampai ke tangan yang tepat, tanpa kebocoran atau pengurangan.
Kedua program ini, meski bertujuan positif, juga mengisyaratkan bahwa ada ruang yang perlu diperbaiki dalam birokrasi kita. Jika saluran pengaduan dan bantuan seperti ini dianggap perlu, maka ada baiknya kita bertanya: mengapa masih sulit bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya pada pejabat setempat? Ataukah pejabat di bawah belum bisa menjawab persoalan yang dihadapi warga?
Sebagai pemimpin, Gibran telah membuka akses bagi masyarakat, menunjukkan bahwa ia siap mendengarkan dan membantu secara langsung. Namun, agar program-program seperti “Lapor Mas Wapres” dan BLT benar-benar maksimal, birokrasi di bawah harus diperkuat, responsif, dan siap melayani dengan transparansi tinggi. Hanya dengan begitu, kita bisa membangun pemerintahan yang benar-benar dekat dengan rakyat dan berfungsi sesuai harapan.