Nanang Mubarok, Ketua Umum DPP BKPRMI, menjadi narasumber Kajian Rutin Ba’da Dhuhur Majelis Taklim XL Axiata (5/11/2024) di XL Axiata Tower Jakarta dengan tema Pancasila dan Persatuan Ummat. Pengurus MTXL sengaja mengangkat tema kebangsaan dan nasionalisme untuk kembali merefresh tentang sebuah kesadaran dan kecintaan kepada bangsa dan negara.
Dalam mukaddimah pembahasan, Kang Nanang memulai dengan mengajak semua hadirin untuk bersyukur atas nikmat hidup dan berkehidupan di Indonesia, sebagai sebuah negeri besar, kaya dan hebat. Selain sumber daya alam yang berlimpah, kehebatan dan kebesaran Indonesia terletak pada keragaman suku, budaya, bahasa dan agama, hingga bermacam etnis bersatu dalam naungan Indonesia. Persatuan ini dilatari oleh adanya kesepakatan menjadi satu bangsa tunggal, Indonesia.
Indonesia adalah Negera Kesepakatan
Hubungan antara Islam dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada dasarnya sudah selesai diperdebatkan oleh para pendiri bangsa (founding fathers) yang di antaranya adalah ulama dan tokoh Islam. Pada saat itu pun para tokoh Islam sudah memberikan argumentasi tentang penerimaan mereka terhadap NKRI yang berideologi Pancasila ini.
Muhammadiyah menyatakan bahwa Indonesia adalah negeri yang disebut sebagai “Darul Ahdi wasy Syahadah” atau “negara berdasarkan kesepakatan dan persaksian”. Darul Ahdi juga dapat dimaknai sebagai Darussalam, yaitu negeri yang penuh kedamaian. Sedangkan Al-Syahadah, tempat pembuktian atau kesaksian. Al-Syahadah juga dapat dimaknai sebagai keterlibatan langsung dalam mengatasi masalah, bekerja keras mewujudkan kemaslahatan, dan partisipasi dalam pembangunan bangsa.
Muhammadiyah memahami bahwa Indonesia itu dibentuk dan didirikan berdasarkan kesepakatan para pendiri bangsa dengan kesepakatan yang berbasis musyawarah di antara sesama pendiri bangsa. Indonesia dengan Pancasila, UUD 1945, NKRI dan kebinekaan merupakan kesepakatan para pendiri bangsa sehingga keberadaannya harus dipertahankan kapanpun.
Muhammadiyah sebagai organisasi memiliki peran penting di dalam musyawarah untuk menentukan dasar negara, Pancasila dan juga landasan yuridis UUD 1945 serta bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Muhammadiyah memandang bahwa Pancasila selaras dan sejalan dengan nilai-nilai ajaran Islam, karenanya menerima Pancasila sebagai Dasar Negara Indonesia sejak awal mula diresmikan.
Dengan konsep yang berbeda tetapi sebenarnya memiliki substansi yang sama, maka NU menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara yang disebut sebagai “Darus Sulhi” atau “Darus Salam”. Indonesia adalah negeri yang aman dengan tujuan untuk menyejahterakan masyarakatnya. Di dalam negeri yang disebut sebagai Darus Salam atau Darus Sulhi, maka di dalamnya tidak terdapat peperangan atau konflik bersenjata yang terjadi di antara warga masyarakatnya. NU berpendapat bahwa hubungan antar warga negara yang berbeda agama disebut sebagai “kafir dzimmi” dan bukan “Kafir harbi”. Dalam konsep “kafir dzimmi” maka orang kafir tidak boleh diperangi tetapi justru dilindungi. Jadi tidak sebagaimana konsep “kafir harbi” di mana orang kafir diperangi untuk dikalahkan. Di dalam Kafir dzimmi, maka orang kafir harus dilindungi oleh negara dan warga negaranya.
Untuk memperkuat penjelasan tersebut, Wakil Presiden (Wapres) K.H. Ma’ruf Amin, dalam bukunya Dārul Mịṡāq: Indonesia Negara Kesepakatan, Pandangan K.H. Ma’ruf Amin, mengeluarkan gagasan Darul Mitsaq (negara kesepakatan) sebagai legitimasi hubungan antara keagamaan (Islam) terhadap ideologi dan sistem NKRI, karena mayoritas rakyat Indonesia adalah muslim. Ia menjelaskan isi salah satu ayat Al-Qur’an, jika kamu dan non-Muslim ada mitsaq atau kesepakatan, hidup berdampingan secara damai, maka tidak ada yang boleh didzolimi, dibunuh. Jika ada yang terbunuh di antara mereka kamu harus membayar diyat (denda, hukuman). Indonesia sebagai Dārul Mịṡāq berdasarkan Al-Quran surat An-Nisa ayat 90 dan praktik Nabi SAW di masa awal kedatangannya di Madinah yang melakukan kesepakatan bersama kelompok sosial yang ada dalam bentuk Piagam Madinah. Hal tersebut adalah untuk menjawab anggapan negara ini tidak sesuai dengan Islam.
Peran Kaum Muda dalam Persatuan Ummat
Bangsa Indonesia sejak jauh sebelum kemerdekaan sudah menyatakan diri sebagai satu bangsa. Hal ini dideklarasikan dalam Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928, yang momentum tersebut kemudian disebut sebagai menjadi bangsa Indonesia.
Sebagaimana diketahui, di era itu, terdapat kelompok pemuda dari sejumlah daerah, seperti Jong Sumatranen Bond, Jong Ambon, Jong Java, dll. Mereka merupakan aktivis muda terpelajar berjuang untuk kemerdekaan bangsa dari penjajahan Belanda, tetapi masih berbasis primordial. Kemudian, mereka menyampingkan unsur kedaerahannya demi mewujudkan persatuan keseluruhan daerah kepulauan Nusantara dalam sebuah negara yang dicita-citakan bernama Indonesia.
Lalu, mereka pun bermusyawarah dalam sebuah forum yang bernama Kongres Pemuda Kedua yang digelar oleh Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI). Kongres ini digelar selama dua hari, 27-28 Oktober 1928 di tiga tempat berbeda, yakni (1) Gedung Katholieke Jongenliengen Bond, (2) Oost-Java Bioscoop, dan (3) Indonesische Clubhuis Kramat. Dalam kongres tersebut, terdapat sejumlah forum pemaparan dari para pemuda yang membawa gagasan masing-masing dalam berbagai bidang. Hal tersebut kemudian mengerucut dalam sebuah rumusan penting yang kita kenal saat ini sebagai Sumpah Pemuda.
Heterogenitas tidak menjadi penghalang dalam mengusung persatuan bangsa Indonesia. Bahkan, bukan saja menyatakan diri sebagai bangsa yang satu dan tanah air satu, tetapi mereka juga menciptakan bahasa yang digunakan bersama dalam satu kawasan, yakni bahasa Indonesia. Hal tersebut tidak lain karena adanya kesepakatan di antara manusia yang berbeda-beda. Kesepakatan ini tentu saja ditempuh dengan musyawarah untuk mencari titik temu di antara segala perbedaan yang ada tersebut.
Selain kesepakatan pada 17 tahun sebelum merdeka, para pendiri bangsa Indonesia juga kembali bersepakat dalam perumusan dasar negara. Perdebatan di antara kaum muda terpelajar di forum sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) bukan saling berbantah-bantahan, bukan pula saling tuding-menuding, melainkan mereka justru berupaya menemukan titik temu yang dapat mempersatukan mereka, mengenyahkan segala perbedaan tanpa hilang rasa hormat terhadap segala keberbedaan di antara mereka.
Titik temu di antara ratusan suku dan keragaman agama itu adalah Piagam Jakarta yang diputuskan pada 1 Juni 1945. Lima sila yang termaktub di dalamnya menjadi muara sehingga melebur dalam satu aliran menuju cita-cita luhur sebagai bangsa yang sama, tidak lagi sebagai bangsa yang berbeda-beda, terpecah-pecah, dan berjuang sendiri-sendiri. Tekad mereka bulat menuju kemerdekaan bersama.
Pancasila diucapkan dalam pidato Soekarno pada 1 Juni 1945 dan diperingati sebagai Hari Lahir Pancasila. Sila-sila dalam Pancasila ditetapkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 bersamaan dengan penetapan UUD 1945. Ikhwal penetapan Pancasila dengan lima sila sebagaimana yang tercantum di dalamnya tentu juga bukan semudah membalik telapak tangan. Ada perdebatan dan permufakatan yang dicapai oleh para pendiri bangsa. Sila pertama Pancasila sesungguhnya sudah disepakati sebelumnya, namun kemudian dipersoalkan lagi sebelum penetapannya pada tanggal 18 Agustus 1945. Utusan Indonesia Timur: Bali, Maluku dan Kalimantan mempersoalkan tentang sila “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”. Mereka keberatan dengan kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”, sehingga perlu untuk dibicarakan ulang. Dalam suasana yang genting ini, maka Hatta mendekati Ki Bagus Hadikusumo dan Soekarno meminta kepada Wahid Hasyim agar minta pendapat kepada Hadratusy Syeikh Hasyim Asy’ari. Bersyukurlah bahwa para tokoh kemerdekaan ini bersepakat tentang penggantian tujuh kata di dalam Piagam Jakarta yang diadaptasi di dalam sila pertama Pancasila dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Bunyi teks ini disepakati sehingga menjadi sila pertama di dalam Pancasila.
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah sebuah negara yang merupakan kesepakatan dari para founding fathers negeri ini. Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), mengesahkan UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945, maka secara yuridis Indonesia telah menjadi negara yang merdeka. Pada tanggal 18 Agustus 1945 juga disepakati tentang dasar negara, yaitu Pancasila.
Kita generasi muda sebagai warga negara dan bangsa Indonesia tentu sangat beruntung memiliki pendiri bangsa yang memiliki pandangan jauh ke depan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara besar dengan menetapkan empat konsensus kebangsaan sebagai pilihan yang sangat baik. Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Kebinekaan merupakan syarat mutlak bagi bangsa Indonesia untuk tegak menatap masa depan yang lebih baik dan sejahtera, negeri yang baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghafur.
Wallahu a’alam bisshawab.